Jumat, 29 Maret 2024

Saat Sampah di Kudus Habiskan Uang Miliaran

Supriyadi
Selasa, 8 November 2016 10:00:10
Supriyadi [email protected]
[caption id="attachment_100116" align="alignleft" width="150"] Supriyadi terassupriyadi@gmail.com
Supriyadi
[email protected][/caption] AKHIR pekan ini ada dua berita MuriaNewsCom yang menyita perhatian saya. Keduanya berkaitan dengan sampah yang berdampak pada lingkungan. Berita pertama adalah TPA Tanjungrejo Kudus Disulap jadi Taman yang menelan dana hingga Rp 11,4 miliar. Sebagai anak seorang petani, saya tak pernah membayangkan seberapa banyak uang Rp 11,4 miliar. Mungkin kalau dibuat beli kerbau dan sapi bisa mendapat ratusan. Maklum sejauh ini, saya belum pernah lihat uang sampai miliaran, yang ada hanya dengar dan menulis nominalnya di kertas ataupun handphone. Terlepas dari itu, persoalan sebenarnya bukan pada nominalnya. Namun apa yang menyebabkan uang belasan miliar itu hanya digunakan untuk mengurusi sampah. Hal itu terjawab di berita kedua: TPA Tanjungrejo Kudus Hanya Mampu Bertahan 5 Tahun ke Depan. Secara matematis, lima tahun tentu jangka waktu yang sangat pendek untuk mendaur ulang sampah. Beruntung, jauh sebelum itu, Pemkab Kudus sudah mengajukan bantuan kepada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Hasilnya, tahun ini, Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang mendapat bantuan provinsi (Banprov) sebanyak Rp 11,4 miliar. Uang itu pun tak serta merta digunakan mendaur ulang sampah yang menumpuk. Mereka mencoba untuk mengubah mindset tentang TPA yang identik dengan bau sampah, kumuh, dan dipenuhi dengan pemulung. Beberapa di antaranya dengan pembuatan talut TPA, taman, jembatan timbang, pagar, wahana wisata dan beberapa pendukung lainnya. Upaya itu tentu harus mendapat apresiasi. Hanya saja, pemerintah perlu jeli. Permasalahan sekarang ini bukan hanya tertuju pada penataan TPA. Hal yang lebih penting adalah umur TPA yang tinggal itungan tahun. Apalagi, saat ini penambahan sampah TPA Tanjungrejo di Desa Tanjungrejo, Kecamatan Jekulo selalu bertambah 500 meter kubik atau 125 ton tiap hari dari sembilan kecamatan di Kudus. Sementara luas area TPA Tanjungrejo hanya 5,4 hektare. Sejauh ini, pengelola TPA Tanjungrejo memang sudah bekerja keras. Selain memanfaatkan gas metan dengan umur sampah tertentu, mereka juga memanfaatkan sampah dengan sistem sanitary landfill. Sistem tersebut adalah sistem pembuangan akhir sampah yang dilakukan dengan cara ditimbun kemudian dipadatkan dengan menggunakan alat berat. Pola sanitary landfill sendiri, merupakan pengembangan dari pola sebelumnya yakni control landfill atau metode pengelolaan sampah dengan cara ditimbun di TPA kemudian dibuat barisan dan lapisan (SEL). Meski demikian cara tersebut baru dilakukan secara bertahap karena memang tergolong kategori pola yang baru.Lagi-lagi, uang berapapun tak akan cukup untuk mengatasi persoalan di Kudus. Sebenarnya, ada beberapa cara yang perlu dimatangkan Pemkab Kudus. Salah satunya berkaca dari Jepang. Di Negara Sakura tersebut, masyarakat di sana sangat sadar dengan tanggung jawab. Mereka seolah tahu, sampah yang dibuang terutama non organik adalah miliknya yang harus dipertanggungjawabkan. Bentuk tanggung jawab tersebut paling ringan adalah memisahkan mana sampah organik dan non organik. Setelah pemisahan, banyak masyarakat yang tak malu melakukan daur ulang sampah-sampah tersebut. Bahkan dengan pengetahuan mereka bahan daur ulang bisa bernilai tinggi. Namun, hal itu tidak dilakukan dengan instan. Mereka memulai kesadaran warga pada tahun 1970. Kala itu mayarakat diajari 3R (reduce, reuse, dan recycle) atau mengurangi pembuangan sampah, menggunakan kembali, dan daur ulang. Gerakan tersebut terus berkembang, didukung oleh berbagai lapisan masyarakat di Jepang. Meski gerakan peduli lingkungan di masyarakat berkembang pesat, pemerintah Jepang belum memiliki Undang-undang yang mengatur pengolahan sampah. Bagi pemerintah saat itu, urusan lingkungan belum menjadi prioritas. Baru sekitar 20 tahun kemudian, setelah melihat perkembangan yang positif dan dukungan besar dari seluruh masyarakat Jepang, Undang-undang mengenai pengolahan sampah diloloskan Parlemen Jepang Bulan Juni 2000, UU mengenai Masyarakat Jepang yang berorientasi daur ulang atau Basic Law for Promotion of the Formation of Recycling Oriented Society disetujui oleh parlemen Jepang. Sebelumnya, pada tahun 1997, undang-undang kemasan daur ulang atau “Containers and Packaging Recycle Law” telah terlebih dahulu disetujui oleh Parlemen. Berkaca dari itu, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama terkait dengan kesadaran masyarakat yang kedua dukungan dari pemerintah dengan bentuk aturan dan panisme yang tegas. Hanya saja, jika melihat faktor kesadaran, warga di Kudus harus dibangun terlebih dahulu. Mereka tak akan membuka kesadaran lebih awal. Untuk membuka kesadaran tersebut, banyak cara yang bisa dilakukan pemerintah. Pertama harus gencar melakukan pelatihan pemanfaatan komunitas ataupun Dinas Lingkungan Hidup dan Cipkataru untuk memberi pembelajaran masyarakat. Hal itu guna meningkatkan keahlian. Akan tetapi, saya pastikan langkah ini keefektifannya kurang dari lima persen. Justru dengan pola kehidupan masyarakat Kudus, Pemerintah harus berani membuat aturan terlebih dahulu. Aturan tersebut terkait dengan buang sampah sembarangan dan tidak menempatkan sampah organik pada tempatnya. Caranya, pemerintah harus membuat area percontohan terlebih dahulu. Misalkan saja di Alun-alun Kudus. Di sana, pemerintah dengan tegas memberikan peringatan buang sampah sembarangan akan diberi sanksi berbayar hingga Rp 50 ribu tiap sampah yang dibuang bebas. Hal itu juga berlaku untuk pembuangan sampah yang tidak pada tempatnya. Sebagai judger adalah masyarakat sekitar. Setiap orang berhak memotret ataupun merekam aksi orang-orang kurang disiplin dan diunggah ke YouTube dengan kata kunci yang diselaraskan. Hal ini guna memberikan efek jera. Setelah percontohan itu sukses baru dibuatkan perda. Perda tersebut mengatur tentang pembuangan sampah dan menyimpan sampah organik yang digunakan untuk dibawa pulang. Itu dilakukan guna mengajarkan tanggung jawab mengolah sendiri atau memanfaatkan sampah organik menjadi kompos melalui biopori. Setelah aturan berlangsung pemerintah tinggal memberikan pelatihan pemanfaatan sampah secara gratis. Hanya perlu diingat TPA masih berfungsi seperti biasa namun untuk uang sampah dilipatkan menjadi 200 kali lipat dari harga normal. Peningkatan tersebut lantaran, selama ini pembayaran uang sampah sangat rendah dan dientengkan sebagian orang. (*)

Baca Juga

TAG

Komentar